Apa yang lebih sinting dari orang sinting yang mengaku tak sinting? Tak ada kan? Jelas tak ada. Coba kau pikirkan: sudah sinting, mengaku tak sinting, ini kan super sinting. Hahahaha. Kau terbahak bahak. Sendirian. Entah di mana letak lucunya. Kau masih terpingkal pingkal begitu rupa. Aku diam saja. Menyeruput capuchino yang agak kemanisan. Kau terengah engah sendiri. Napas mu memburu buru. Lalu kau tenggak es teh dengan cepat. Ampuun. Nikmat kali es teh ini. Gluk gluk gluk. Habis. Tandas. Aku masih menunggumu sadar dari ektase humormu yang garing itu. Membiarkanmu menikmati sensasinya sendirian. Ku lihat di atas meja ada sebuah koran tergeletak. Aku bangkit dan meminjam koran itu pada pelayan yang kebetulan lewat. Koran di tangan. Koran lama ternyata. Ah tak mengapa. Kau terheran heran melihatku membawa sebundel Koran. Lah, ngapain kita kesini kalau mau baca Koran? Kau keberatan. Biarlah, siapa tahu ada humor yang menarik yang bisa kuceritakan pada kamu. Masa iya, tiba tib
Kegaduhan selalu saja berarti kesimpangsiuran, ketakpastian dan segala ketakjelasan; sebuah kebisingan yang menyengat telinga dan otak. Sumber kegaduhan bisa saja bunyi bunyi yang menumpuk, teriakan yang saling menggulung atau informasi yang tercurah bagai banjir bandang; dalam detik pertama kita tak sempat menyelamatkan sebuah ijazah. Paling tidak yang tertinggal adalah disinformasi, bunyi bunyi yang hambar ,nirmakna, dan kebingungan yang justru makin menindih akal. Kita menerka kemana ujung benang ini akan terurai; tetapi dalam kegaduhan; ujung benang seperti jalan jalan tak terputus. Lorong lorong gelap yang tak pernah dijamah sinar mentari. Atau paling tidak kita seperti melihat lukisan abstrak; lalu dengan ceroboh kita mengatakan bahwa itu bermakna A dengan kejumawaan yang berlebihan. Mari menengok akal sehat. Di manakah akal sehat di tengah kegaduhan? Di manakah akal sehat ditengah bisingnya kegaduhan? Barangkali kegaduhan telah menindih akal sehat dalam kerangkeng