Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Emak Kita yang Mulia

saya memiliki emak yg mulia. status beliau ini, bukan melulu sebab sy anaknya, tetapi konfirmasi dari berbagai-bagai orang yang menandai beliau. bahwa beliau mulia dalam pandangan sy sebagai anaknya, tentu pemirsa maklum adanya. tetapi, pandangan dan penilaian di luar kekerabatan dan hubungan anak beranak itu yg bikin saya bangga. emak saya hanya perempuan biasa saja. sekolah sampai kelas 3 SR, tak terlalu pandai bergaul, bahkan adakalanya begitu tertutup. entah mengapa, beliau seperti dilanda ketakutan yang berlebih dan memandang hubungan dengan orang lain itu sebagai sesuatu yang membebani bahkan dalam saat-saat tertentu menakutkan. emak saya hanya perempuan biasa saja. seingat saya, masakan emak tak ada yang berbau western. masakan beliau diolah dengan bumbu dasar saja, tidak ruwet, dan 'itu-itu saja'. tetapi entah mengapa, tiap-tiap mengingat itu, saya selalu kangen dengan masakannya. beliau selalu dipanggil bu haji. oleh  siapa pun. walau emak belum haji. bila menden

langkah kaki yg tersuruk

Seperti juga air yg kadang gagal menembus cadas, begitu pula kaki ini yg kerap tersuruk dan terantuk. entah sudah berapa puluh kali kaki ini berdarah, tertusuk duri, sekedar lecet, karena mata dan kaki tidak seirama. mata memandang, otak kosong, entah memikirkan apa. langkah kaki yang tersuruk dan terantuk, menyakitkan. tetapi tidak mengapokan. kita tetap melangkah walau resiko tersuruk dan terantuk terbuka. kita menguatkan dalam hati bahwa tak lagi-lagi tersuruk itu terjadi. walau kenyataannya tak pernah terkakulasi dengan tepat. langkah kaki dan langkah hidup itu sepertinya berdampingan, seirama. ritme langkah hidup itu mirip benar dengan dengan langkah kaki yg sering terantuk dan tersuruk itu. sama benar. berkali-kali dalam hidup kita terluka, tersakiti, jatuh, dan menderita. tetapi, itu tidak mengapokan. bahkan justru membesarkan dan menguatkan. jatoh dan menderitanya kita itu seperti imun yang datang begitu cacar air menghinggapi tubuh, setelahnya cacar air tak sudi lagi berku

Mengapa Semangat ini Terus Menurun y??

semangat itu seperti iman juga, kadang tebal, kadang menipis. sewaktu-waktu tinggi, di lain saat rendah seperti lumut. sama juga dengan indeks saham di bursa, suatu saat meninggi, lebih banyak rontok...hehehe. itulah semangat, barang abstrak dengan pengaruh riil, nyata. adakah cara menjaga semangat itu tetap tinggi dan jangan lagi terkapar di lantai macam pemabuk?? itu pertanyaan biasa dan umum sekali. tetapi barangkali, justru yg umum dan biasa inilah yg kerap kita lupakan jawabannya. yup, jawabannya. sebab mungkin sudah berjuta kali telah dijawab oleh para motivator ahli perihal tanya itu, dan masih saja timbul pula pertanyaannya. jadi, apakah sebab biasa kemudian ia disepelekan atau ia hanya dipandang sepele padahal ia itu hal sulit? saya beranggapan, ia hanya pertanyaan biasa dengan jawaban yg biasa jua. yang tak biasa dan bisa luarbiasa adalah cara kita mengaktuilkan jawaban itu. mengaktuilkan jawaban itu bisa jadi urusan yg pelik. pelik sebabnya ia berurusan dengan tindakan,

Melihat wajah Matahari

Apakah kita mampu memandang wajah matahari seperti layaknya kita menikmati bulan? dengan mata telanjang? tidak, tidak,, sudah pasti. mata kita tak akan kuat menerima energi panas yg dipancarkan sang surya itu. kita pasti membutuhkan alat, mungkin kaca mata hitam ray ban, atau teropong khusus yg dirancang untuk mengamati matahari. jadi sebenarnya kita bisa melihat wajah matahari ya? dengan bantuan alat tentunya. saya sendiri sering memperbandingkan ketidakmungkinan itu dengan melihat wajah matahari. membenturkan kemungkinan-kemungkinan pada problematik yg secara sekilas mustahil. membenturkan problematika yg musykil dengan kemungkinan itu, seperti mencari-cari jalan keluar air ketika ia dihadapkan pada dinding tinggi. yg dilakukan air tentu tidak saja menggenangi tebing itu dengan sebanyak-banyaknya volume, tetapi juga merembeskan dirinya ke segala arah yg mungkin.

BERHENTILAH

Berhentilah* Berhentilah di tepi jalan, memungut apa saja yang dapat tergapai, mungkin batu, duri, selembar daun, dahan yang meluruh, apa saja. Berhentilah sejenak, dan rasakan denyut jantungmu, kepak sayap burung di akanan, desir dan semilir angin, anyir darah. Berhentilah. Lalu tulis dalam lembar-lembar bencimu, yang kau patri jauh di hatimu, kisah-kisah tentang semua itu. Daun yang meluruh ke tanah dengan gigil dan cemas. Kepak sayap emprit yang menjauh, dan terbang ke sebuah semak, atau duri-duri yang tergeletak di pinggir-pinggir perigi hatimu. Tulislah, dengan sepenuh jiwa, jiwa yang telah kau masak dengan segala teori, dengan segala racun, dan beban-beban yang tak tertanggungkan. Lalu, kembali berhenti. Di tiap tikungan yang mengarah pada rerimbunan tak bertepi. Hutan-hutan malam yang liar, rumput-rumput yang menyemak, dan teritik air yang menggemakan kesenduan. Bersatulah dengan mereka, resapi ratap kesunyian yang membuka dan menutup, meloncat-loncat ke gendang