Oloy S. Wandi
Aku berjalan melintas
beton beton
yang serupa cakar elang
mati terlindas buldoser.
Aku berenang melintas
gedung gedung
yang mengalir sepanjang
aortaku, sepanjang kali kali ku
sepanjang lembah dan
sawahku.
Aku berlari sepanjang
hari, berharap ku temui camar
yang terbang mencaplok
ikan atau udang, atau bertemu biawak
yang sedang asyik
mengintai mangsa di tepi rawa.
Tetapi yang ku temui hanya
tai ngambang, sampah busuk
dan limbah limbah beracun.
Aku tertegun dalam lari
ku, dalam renangku dalam jalanku.
Aku bertanya: apa yang terjadi pada hutan ulayatku
Apa yang terjadi pada
hutan adatku
Apa yang terjadi dengan
kecipak sepatku
Apa yang terjadi dengan
liuk sili ku
Apa yang terjadi dengan
siul sik madu ku
Aku tertegun dalam hiruk
pikuk modernitas
Aku asing dalam deru
buldoser yang mengiris ngiris bukit
dan pantai . aku terpaku
di atas limbah yang baunya
mengelupas hidung dan
otak. Aku terpaku di atas pusara
Ikan, udang, laya, burung,
monyet, macan, badak, gajah,
yang tak sempat bernisan.
Oh, emak, baba, uwak, aku
tak punya muka lagi bertemu kalian
habis semua tanah tanah
yang kau titipkan pada kami
musnah semua pohon, rawa,
pantai, kali, sawah
yang susah payah kalian
jaga
0h emak, baba, uwak
ampunilah aku yang durhaka ini
ampunilah aku yang lemah
ini
yang tak kuasa meredam
birahi mereka atas
tanah tanah kalian.
Tinggal beton beton beku
yang menjulang
hanya beton beton dingin
menaungi
di mana lagi bisa ku cium
tanah di kota ini?
Comments
Post a Comment