Apa yang lebih sinting dari orang sinting yang mengaku tak
sinting? Tak ada kan? Jelas tak ada. Coba kau pikirkan: sudah sinting, mengaku
tak sinting, ini kan super sinting. Hahahaha. Kau terbahak bahak. Sendirian. Entah
di mana letak lucunya. Kau masih terpingkal pingkal begitu rupa. Aku diam
saja. Menyeruput capuchino yang agak kemanisan.
Kau terengah engah sendiri. Napas mu memburu buru. Lalu kau
tenggak es teh dengan cepat. Ampuun. Nikmat kali es teh ini. Gluk gluk gluk. Habis.
Tandas. Aku masih menunggumu sadar dari ektase humormu yang garing itu. Membiarkanmu
menikmati sensasinya sendirian. Ku lihat di atas meja ada sebuah koran tergeletak.
Aku bangkit dan meminjam koran itu pada pelayan yang kebetulan lewat.
Koran di tangan. Koran lama ternyata. Ah tak mengapa. Kau terheran heran melihatku membawa sebundel Koran. Lah, ngapain kita
kesini kalau mau baca Koran? Kau keberatan. Biarlah, siapa tahu ada humor yang
menarik yang bisa kuceritakan pada kamu. Masa iya, tiba tiba kau penasaran. Aku
hanya mengangkat bahu.
####
Masih ada sepi yang merajam bahkan dalam keramaian
sesempurna ini. Apakah kesepian tak mengenal tempat dan waktu? Tak mengenal
situasi? Aku mengeluh bukan pada mu. Tapi pada diriku sendiri. Mengeluh pada
rasa sepi yang menyisakan getir. Menyisakan rasa sesak yang kadang datang
bergerombol. Terus? Ya begitulah. Kesepian yang sulit ku jelaskan ini, seperti
bayangan.
Kau memesan kopi bali; kintamani original bean. Tanpa gula. Aku
memesan campunchino. Kita duduk dipojok. Dengan dua kursi dari kayu dan meja
bulat yang tertutup kaca. Kesepianmu mungkin kesepian, cerocos mu, Jarang kau ajak omong,
jarang kau ajak piknik. Makanya sekarang merongrong kamu. Coba dong seperti
aku, sering ku ajak piknik kesepianku. Hah!
Bukankah begitu? Kalau kau bosan dengan masalah, berdamailah
dengan masalah. Kalau kau bosan dengan kesepian, ajaklah main gaple kesepian
itu. Hahaha. kau terpingkal. Ah cangkemmu, kataku. Aku serius. Sejak dulu, rasa kosong itu ribut
melulu. Kasak kusuk, timbul tenggelam. Aku konsultasi pada dokter malah Cuma dikasih
obat tidur:valium. Busyet. Padahal kalau tidur kamu kan tahu, aku paling kuat.
Terus? jawabmu sambil nyeruput kopi. Yah aku mau bebas dari rasa sepi. Masak gitu aja kamu
gag ngerti? Katanya sarjana. Sarjana kampret. Hahaha. aku tertawa puas. Ngapain kamu mau bebas
dari rasa sepi? tanya mu. Susah lho dapat rasa sepi ditengah hiruk pikuk jaman. Orang lari
kegunung, ke laut, ke hutan, ke langit demi apa? Mencari rasa sepi! Tahu. Rasa sepi
itu indah kalau dihayati. Merayu kalau dipahami. Membikin haru kalau diselami.
Coba, kalau hidup tanpa rasa sepi, rasakan saja. Kepalamu seperti
mall yang sedang cuci gudang. Sale 70% 80% teriak teriak kayak kesurupan. Dan kita
lari kesana kemari dengan kesurupan juga. Bahkan sampai berkelahi dengan sesama
pelaku kesurupan demi sebuah cangcut. Ya hanya cangcut dengan bandrol 80% itu.
Yah, maksudku bukan begitulah. Lalu? Bisakah kita bedakan
antara rasa sepi dan tenang? Kesepian dan ketenangan menurutku punya dua rasa
yang berbeda. Punya karakter yang bertolak belakang. Coba kau perhatikan frase
ini: janda kesepian; mati kesepian; perempuan kesepian; anak kesepian bandingkan
dengan ini: hati yang tenang; ketenangan jiwa; ketenangan rumah tangga. Paham kamu?
Hahaha. Aku paham maksudmu. Kamu bermaksud menghakimi kesepian dengan label negative
dengan meletakannya dalam sebuah frase. Lalu meninggikan yang lain dengan
justifikasi frase yang lain. Seolah olah hidup, jiwa, batin itu sedangkal
deretan kata dalam frase.
Menurut ku itu menggelikan. Kekonyolan paling dramatis yang
pernah kau katakan pada ku. Kau sehat? Shit! Pertanyaan kau sehat itu ledekan
paling memuakan. Seolah olah bertanya dengan khawatir tetapi di baliknya
seseungguhnya sedang berkata: kau sakit, sakit otak tepatnya. Damn. Damn. Aku menggerutu
saja.
Begini, ramai dan sepi itu situasi yang menggambarkan kosmos.
Menggambarkan keadaan jiwa. Menggambarkan keseimbangan alam. Tahu kau kesepian
bumi sebelum Tuhan menciptakan tumbuhan, binatang, binatang darat, langit,
laut? Kesepian bumi mengental ribuan tahun, tetapi bumi tahu kesepian adalah
ruang tunggu. Ruang tunggu yang akan mengantarkannya pada keanekaan, yaitu
keramaian spesies.
Apa yang dilakukan bumi dalam kesepian yang membunuh itu? Apakah
dia memutuskan mengusir rasa sepi itu? Atau
berkawan dengan rasa sepi yang membatu itu? Tunggu, tunggu dulu. Kau terlalu
bombastis dalam hal ini. Lama lama kau bisa ceramah tentang teori evolusi kalau
begini. Tidak, tidak menurutku tidak sejauh itu. Kau mengernyit. Menahan senyum.
Ah, nona bukan begitu maksudku.
Horay,kau menyangkal teriakku. Dan satu lagi, alam raya,
bumi diciptakan hanya dalam waktu 6 hari oleh Tuhan. Hanya enam hari. Jadi teori
kau tentang kesepian yang membatu, membara, apalah itu jelas salah dan tak
terarah. Horay..aku tambah gempita.
Aku ngga akan membahas keberatanmu ya. Nanti sajalah ku
jawab. Aku mau fokus dulu pada jawaban ku yang kau anggap terlalu jauh. Aku
ngga akan ceramah tentang evolusi evolusian. Masalahnya kau belum menangkap
inti cerita yang ku sampaikan. Pahami dulu kalau kesepian itu bagian tak
terpisahkan dari manusia. Ingat kau cerita adam yang kesepian di surga? Lalu Tuhan
menciptakan Hawa untuknya. Aku mengangguk. Kau pikir dari mana Hawa datang
kalau bukan dari rasa sepi, kesepian yang mau kau buang itu?
Degg. Bener ngga? Kau pikir dari mana Pramoedya mampu
menulis magnum opusnya yang terkenal itu? Apa kau pikir dari ketenangan batin
dan keriuhan tempik dan sorak? Tidak tidak. Itu lahir dari kesepian, rasa sepi
yang menggerogoti otaknya dan menggerakan jari jarinya di atas kertas semen. Dari
kesepian kesepian yang melilit hati, menusuk nusuk kepala, menggerogoti
jantung, menggedor paru paru, hadirlah, terciptalah kreatifitas. Itu poin yang
aku mau sampaikan.
Damn!
Aku meneguk capuchino lagi. Memikirkan semua jawabanmu. Kesepian
adalah rangsang penciptaan. Darinya lahir bentuk bentuk kreatifitas. Kesepian
adalah diri kita. Bukan liyan. Kesepian adalah aku.
####
Bagaimana? Adakah humor di Koran bekas itu? Tanyamu membuyarkan
lamunanku.
Comments
Post a Comment